Rabu, 28 Oktober 2009

Derita Tahun Baru (part 3)

---------------------------------------------------------

"Hey! Susah nyarinya ini," Budi langsung protes. "Lagipula, daging ular bagus untuk kesehatan loh! Bagus buat kalian-kalian yang berdarah rendah dan kurang semangat. Manjur untuk mengobati sakit kepala, sakit kulit, sakit gigi, sakit hati, dan segala macam sakit di sakitar kita. Selain itu, kulit ular juga bisa digunakan untuk aksesori, untuk..."

"Wes! Cocok jualan obat kau Bud!" potong Anus. "Tapi jangan disini deh. Di pasar aja sonoh. Ini masalahnya, sekarang... Ular-ular ini terus mau diapain? Dijadiin tontonan? Digoreng? Dimakan mentah? Kalau yang terakhir sih lakuin aja sendiri. Dasar saraf! Eh, tapi ngomong-omong, berbisa nggak sih ini?"

"Jelas," jawab Budi kalem saja. "Tenang, yang semacam ini disebut Sawung Kebo sama Sawung Macan, nggak bakal bikin mati bisanya. Paling cuma panas atau demam tiga hari," lanjutnya, sambil dengan enaknya merogoh ke dalam wadah dan mengambil salah satu ular, memegangnya tepat di tengkuk.

Begitu Budi mengangkat ular itu keluar wadah, spontan kami yang lainnya... langsung menjauh. Wajar lah. Ular ini, ular! Kalau cacing sih? Tinggal ditusuk kail jadiin umpan pancing. Kalau ulet? Tinggal diinjek trus dibuang. Kalau si Inug? Tinggal dijitak, ceburin kolam ikan, kucek sebentar, angkat, trus jemur di terik matahari deh. Siapa tahu ada maling jemuran rabun yang mau ambil dia...

"Kenapa kalian?" Budi bertanya, berlagak tak bersalah. "Aman nih. Lihat! Tinggal dibeginiin..."

Budi memegang tengkuk dan ekor ular itu, lalu menariknya keras-keras. Terdengar suara berderak, dan... Busyet deh! Kalau kalian lihat ini, pasti kalian langsung sadar deh bahwa mencoba menambah tinggi badan dengan cara seperti ini adalah ide yang sangat buruk. Jangan pernah mencoba suruh orang menarik leher dan kaki kalian kuat-kuat, berlawanan arah. Jangan pernah sama sekali!

"Nah! Satu beres, tinggal dikuliti. Mau coba Tuth?" Budi mendekatiku, mengeluarkan satu ular lain dan menyodorkannya kepadaku. Entah apa yang merasukiku saat itu sampai aku mau menerima ular itu. Masih heran juga aku saat ini kalau ingat kenangan itu.

"Emm... Bud! Ini diapain? Ditarik kayak kamu tadi?" tanyaku gugup. Wajar lah gugup. Aku kan normal, nggak edan kayak Budi dan teman-teman pemburu ularnya. Satu tes psikologis terbukti ini. Coba pegang ular berbisa hidup. Kalau kau merasa jantung berdebar-debar, keringat siap menetes, dan ada keinginan super kuat untuk membuang jauh-jauh makhluk di tanganmu, itu berarti kau normal. Kalau sebaliknya, berarti janjimu ketemu psikiater sudah terlalu lama ditunda. Bagi kalian yang begini, segera hubungi psikiater, pawang ular, atau dukun beranak... secepatnya.

"Iya lah! Tapi kalau mau boleh potong kepalanya pakai pisau kok. Ada pisau Yong?"

"Gunting gimana?" Leong menjawab, menunjuk ke gunting taman yang tergeletak tak jauh dari situ.

"Nggak mau. Terlalu sadis," protesku langsung.

"Cekik aja Tuth. Dua tiga jam lagi paling juga dia mati," usul Andy iseng.

"Diginiin gimana?" Aku membanting ular di tanganku sekuat tenaga ke tanah. Walah! Ular itu tak nampak kesakitan sama sekali, malah cepat bergerak menjauh. Tapi, kalah cepat dengan Budi yang langsung mengejar dan menangkapnya dengan tangan kosong. Sempat kulihat lengannya digigit oleh ular itu.

"Kegigit Bud?" tanyaku cemas.

"Nggak papa," jawabnya santai. "Udah kebal aku kalau cuma bisa ular beginian. Kalau kobra sih masih amit-amit."

Cerita selanjutnya... kami menguliti ular-ular itu, memotong-motongnya, menusuknya dengan tusuk sate kambing yang sudah disiapkan Budi, membumbui, lalu memanggangnya. Memotong dan memanggang ular itu nggak mudah, kalian tahu? Tahu nggak, daging yang sudah dipotong-potong itu masih bisa gerak waktu dipanggang. Hiii...!

Mungkin itu karena kami nggak tahu cara memasak ular yang benar sih. Yah, jujur saja, aku juga nggak terlalu kepingin tahu soal itu. Kan nggak keren kalau ditanya: apa cita-citamu? Tukang sate ular! Nggak banget deh.

Akhir cerita... Malam tahun baru itu kami lewatkan dengan barbekyu ular di rumah baru di pinggir kota, dengan kandang sapi sebagai tetangga sebelah dan kuburan di seberang jalan. Asyik untuk dikenang? Memang. Mau lagi? Nggak ah...

--ooo NDI EN ooo--

Derita Tahun Baru (part 2)

---------------------------------------------------------

Busyet dah! Temen-temenku lama banget nggak dateng-dateng. Pada sengaja kali ini ngerjain aku. Untung saja aku nggak terlalu takut hantu, apalagi kalau sama hantu Indonesia. Lihat film-filmnya aja, yang ada bukannya takut tapi... jijik. Kalau, hantu barat sih emang serem. Lihat saja Jason di Friday the 13th tuh, bawaannya kalau nggak kapak, gergaji mesin. Ngibrit aku kalau ketemu beneran. Hantu Indonesia? Pocong? Halah, tangannya aja nggak bisa keluar. Bisanya cuma lompat-lompat.

Betapapun, biar nggak takut hantu, karena aku termasuk pecinta damai, aku tetap tinggal di dalam rumahnya Leong, nggak keluar-keluar. Nggak enak kan kalau nyinggung perasaan mereka-mereka di rumah masa depan seberang jalan, karena sudah pasti aku... 120% jauh lebih keren dari mereka...

Kembali ke cerita... Sebagai balas dendam pada teman-temanku yang tega biarin aku sendirian di sini, aku langsung saja ngamuk, abis-abisin makanan dan minuman yang ada. Tahu nggak? Enak lho ternyata ngamuk model begini, biar kesal tapi kenyang. Lalu...

Terdengar suara beberapa motor berhenti di luar. Wah, ini teman-temanku pasti. Karena itu, cepat-cepat aku berbaring telentang di tikar, kedua telapak tanganku kuletakkan rapi di atas dada, napaspun kutahan sebisanya. Ceritanya pura-pura mati ini. Sebenernya kepingin pakai saos tomat aku buat bikin supaya jadi kelihatan berdarah-darah. Tapi, berhubung itu resikonya mengotori pakaian, sedang T-shirtku baru juga kubeli kemarin, rencana itu terpaksa dengan sangat tidak menyesal, kubatalkan.

"Permisi!" Terdengar seruan nyaring dari depan. Aku langsung diam dan memejamkan mata, pura-pura mokad. Mendengar suara langkahnya sih, meski salam mereka tak dibalas, para pendatang baru ini nekat masuk tanpa permisi... Eh, salah! Tadi udah permisi yah mereka? Ya, pokoknya gitu lah.

"Eh! Kenapa tuh Ituth? Pingsan?" Busyet dah. Aku kan pura-pura mati. Kok malah dianggap pingsan?

"Bangunin orang pingsan gimana Nug? Ikut PMR kan kau?"

"Kalau menurut statistik yang kupelajari sih. Siram pakai air comberan punya kemungkinan paling besar untuk berhasil."

"Nggak perlu CPR?"

Langsung bangun aku dengernya. Amit-amit kalau yang ini. Lebih parah daripada disiram air comberan. Kalau yang ngasih CPR cewek cakep sih oke-oke saja. Lha ini, pejantan semua disini. Yang betina paling cuma sapi di kandang sebelah. Menerima CPR dari mereka? No way!

"Statistikmu salah Nug! CPR lebih berhasil tuh. Baru disaranin saja udah sadar si Itut," kata salah satu dari pendatang itu, Anus.

"Mana yang punya rumah Tuth?" Satu, yang lain, si Inug bertanya. "Belum pindah ke seberang jalan kan dia?"

Tiba-tiba, seolah menanggapi pertanyaan Inug, terdengar suara rintihan seram dari luar. Seraaam sekali. Tapi bukan hantu. Suara motor busuknya si Leong itu.

"Tuh dia." ucapku enteng. Panjang umur si Leong. Tapi, bukan karena sedang diomongin terus datang. Melainkan karena masih sabar juga dia menghadapi kerentaan motor purbanya. Orang sabar panjang umur loh. Nggak percaya? Lihat saja umur kura-kura...

"Hey! Bawa keluar aja tikar sama makanannya. Kita bikin barbekyu diluar. Budi bawa daging nih," seru Leong, seraya melongokkan kepala dari balik pintu.

"Sip! Nggak seru memang kalau nggak ada bakar-bakar," seru Anus semangat.

"Bakar saja ini rumah. Dijamin seru deh nanti," ucapku asal, seraya ikut keluar dan menyiapkan tempat dan peralatan di halaman.


Kemudian, di luar... "Oke. Beres nih. Mana dagingnya?" tanya Inug.

"Sabar Nug. Masih hidup dagingnya. Perlu dipotong dulu," jawab Budi, mendekati kami sambil menenteng semacam wadah plastik tertutup.

"Daging apa sih? Ayam?"

"Lihat saja sendiri..." Budi membuka tutup wadah plastik itu. Kami melongok ke dalamnya dan...

"Masyaallah!" Inug langsung melompat ke belakang dan berseru kecut. "Busyet Bud! Buang gih sana! Bikin jantungan tahu! Dasar setan sableng!" lanjutnya memaki kalang kabut.

Aku juga kepingin memaki sebenarnya. Tapi kalah cepat. Edan si Budi ini emang. Yang disebut dengan daging olehnya itu adalah... ular hidup. Dan itu nggak cuma satu! Dasar anak gila dia!


Derita Tahun Baru (part 1)

-------------------------------------------------------------------
Characters (tokoh-tokoh dalam cerita ini):

Ituth = Aku. Cowok jenius yang selain cakep juga... keren, seksi, jujur, setia, baik hati, dan tidak sombong. (Huss! Dilarang muntah!)

Leong = Nama aslinya sih Fajar, julukannya... Babah Leong. Dia tukang bantah, nggak sabaran, dan cuma bisa diem kalau lagi pingsan.

Budi = Anak ajaib ini hobinya mancing, gangguin cewek cakep, dan... nangkep ular. Busyet deh hobi terakhirnya, nggak bisa cari hobi lain apa ya? Ngerajut gitu kenapa?

Nugroho = Atau Inug, atau Hoho, atau... Botol. Tak bisa merengut dia. Mukanya memang sepertinya sudah diset permanen sejak lahir untuk selalu nyengir.

Fabianus = Biar lebih singkat biasa dipanggil... Anus. Kekeke... itu sih kayaknya bukan supaya lebih singkat deh. Ehm...! Yang jelas, yang paling menonjol dari anak satu ini adalah... giginya.

Andy = Atau Kribo. Dia pendiem, kalem, nggak pernah macem-macem, nggak pernah bikin masalah, nggak pernah makan, nggak pernah minum, nggak pernah... Eh, busyet deh! Aku ngomongin dia atau ngomongin patung ini yah?
-------------------------------------------------------------------

Ya udah deh. Sekarang, dimulai saja ceritanya...

Suatu hari... Bah! Suatu hari? Terlalu klise yah? Nggak jadi deh. Langsung saja...

"Cepetan Tuth! Masih harus jemput si Budi nih." Leong berseru tak sabar, menunggu gelisah di atas motor zaman purbanya, yang entah gimana masih juga bisa jalan. Maklum sih bahan bakarnya bensin campur... campur dorong.

"Bentar ah. Baru juga jam sembilan. Masih sore ini. Lagian, repot ni bawanya," gerutuku, kerepotan keluar rumah. Memang aku kayak orang pindahan ini bawaannya: matras, tikar, makanan berlimpah, dan coca-cola tiga botol besar. Sayang ideku bawa kasur tadi ditolak mentah-mentah sama siapapun yang denger. Kan asyik tuh sebenernya, kasur diseret di belakang motor bobroknya Leong, trus aku berdiri di atasnya sambil menjaga keseimbangan... jadi kayak main ski air di jalanan kan?

"Ayo ah!" Leong berseru lagi, makin tak sabar. Aku susah payah menempatkan diri, ngebonceng di belakangnya. Setelah berhasil, kamipun berangkat... menuju neraka. Nggak ding. Nggak tepat menuju neraka, tapi nyaris. Suer nih. Mukaku aja sudah merah membara ini, terbakar panasnya api neraka yang kalau di bumi lebih sering disebut sebagai... rasa malu. Gimana nggak? Motor butut, beban berlebihan, jalannya... buset, balapan sama becak saja kalah.

Namun akhirnya, penantian tak berkesudahan yang menyiksa nurani ini usai juga. Sampai juga kami di rumah baru Leong dengan selamat, sentosa, dan... sengsara. Anyway, berikutnya, dengan semangat membara, aku membawa semua bebanku (termasuk beban perasaan) masuk ke rumah Leong. Mau pesta besar kami ini. Pesta tahun baru ini, cuma sekali setahun. (Ya iyalah! Namanya juga tahun baru. Kalau bulan baru itu baru setahun duabelas kali.)

Pokoknya, sekarang penderitaanku sudah usai. Tinggal masuk rumah, gelar tikar ma matras, buka makanan, pesta pora, dan...... benar kan? Dugaanku salah.

"Weleh! Mana ini yang lain Yong?"

"Kan tahu sendiri... bokap nyokap lagi keluar kota," jawab Leong cuek aja.

"Bukan itu. Si Nug, Anus, sama Kribo mana? Katanya sudah disini?"

"Pulang tadi, pas aku jemput kamu. Bentar lagi juga balik sini paling. Sudah ah, tungguin sini yah? Aku jemput Budi dulu."

"Yah, sono gih cepetan," gerutuku sebal. Leong langsung saja keluar dan membawa motor antiknya melaju pergi. Untung malem tahun baru ini, suara rintihan motornya jadi nggak terlalu bikin orang kepingin keluar rumah buat nimpukin dia pakai kloset.

Ditinggal sendiri begini, untuk sesaat aku hanya bisa tenggelam dalam kekesalan mendalam. Tapi sebentar kemudian aku tersadar... Rumah baru Leong ini kan di pinggiran kota... sebelah kirinya kandang sapi. Kanannya? Lapangan bola. Belakang? Kebun orang. Depannya? Jalan. Di seberang jalan? Busyet... Kuburan. Dan disini cuma ada... aku sendiri.

Maka... "Leong... bangsat!" makiku langsung sekuat tenaga.

Blog-blogku yang lain: