"Hey! Susah nyarinya ini," Budi langsung protes. "Lagipula, daging ular bagus untuk kesehatan loh! Bagus buat kalian-kalian yang berdarah rendah dan kurang semangat. Manjur untuk mengobati sakit kepala, sakit kulit, sakit gigi, sakit hati, dan segala macam sakit di sakitar kita. Selain itu, kulit ular juga bisa digunakan untuk aksesori, untuk..."
"Wes! Cocok jualan obat kau Bud!" potong Anus. "Tapi jangan disini deh. Di pasar aja sonoh. Ini masalahnya, sekarang... Ular-ular ini terus mau diapain? Dijadiin tontonan? Digoreng? Dimakan mentah? Kalau yang terakhir sih lakuin aja sendiri. Dasar saraf! Eh, tapi ngomong-omong, berbisa nggak sih ini?"
"Jelas," jawab Budi kalem saja. "Tenang, yang semacam ini disebut Sawung Kebo sama Sawung Macan, nggak bakal bikin mati bisanya. Paling cuma panas atau demam tiga hari," lanjutnya, sambil dengan enaknya merogoh ke dalam wadah dan mengambil salah satu ular, memegangnya tepat di tengkuk.
Begitu Budi mengangkat ular itu keluar wadah, spontan kami yang lainnya... langsung menjauh. Wajar lah. Ular ini, ular! Kalau cacing sih? Tinggal ditusuk kail jadiin umpan pancing. Kalau ulet? Tinggal diinjek trus dibuang. Kalau si Inug? Tinggal dijitak, ceburin kolam ikan, kucek sebentar, angkat, trus jemur di terik matahari deh. Siapa tahu ada maling jemuran rabun yang mau ambil dia...
"Kenapa kalian?" Budi bertanya, berlagak tak bersalah. "Aman nih. Lihat! Tinggal dibeginiin..."
Budi memegang tengkuk dan ekor ular itu, lalu menariknya keras-keras. Terdengar suara berderak, dan... Busyet deh! Kalau kalian lihat ini, pasti kalian langsung sadar deh bahwa mencoba menambah tinggi badan dengan cara seperti ini adalah ide yang sangat buruk. Jangan pernah mencoba suruh orang menarik leher dan kaki kalian kuat-kuat, berlawanan arah. Jangan pernah sama sekali!
"Nah! Satu beres, tinggal dikuliti. Mau coba Tuth?" Budi mendekatiku, mengeluarkan satu ular lain dan menyodorkannya kepadaku. Entah apa yang merasukiku saat itu sampai aku mau menerima ular itu. Masih heran juga aku saat ini kalau ingat kenangan itu.
"Emm... Bud! Ini diapain? Ditarik kayak kamu tadi?" tanyaku gugup. Wajar lah gugup. Aku kan normal, nggak edan kayak Budi dan teman-teman pemburu ularnya. Satu tes psikologis terbukti ini. Coba pegang ular berbisa hidup. Kalau kau merasa jantung berdebar-debar, keringat siap menetes, dan ada keinginan super kuat untuk membuang jauh-jauh makhluk di tanganmu, itu berarti kau normal. Kalau sebaliknya, berarti janjimu ketemu psikiater sudah terlalu lama ditunda. Bagi kalian yang begini, segera hubungi psikiater, pawang ular, atau dukun beranak... secepatnya.
"Iya lah! Tapi kalau mau boleh potong kepalanya pakai pisau kok. Ada pisau Yong?"
"Gunting gimana?" Leong menjawab, menunjuk ke gunting taman yang tergeletak tak jauh dari situ.
"Nggak mau. Terlalu sadis," protesku langsung.
"Cekik aja Tuth. Dua tiga jam lagi paling juga dia mati," usul Andy iseng.
"Diginiin gimana?" Aku membanting ular di tanganku sekuat tenaga ke tanah. Walah! Ular itu tak nampak kesakitan sama sekali, malah cepat bergerak menjauh. Tapi, kalah cepat dengan Budi yang langsung mengejar dan menangkapnya dengan tangan kosong. Sempat kulihat lengannya digigit oleh ular itu.
"Kegigit Bud?" tanyaku cemas.
"Nggak papa," jawabnya santai. "Udah kebal aku kalau cuma bisa ular beginian. Kalau kobra sih masih amit-amit."
Cerita selanjutnya... kami menguliti ular-ular itu, memotong-motongnya, menusuknya dengan tusuk sate kambing yang sudah disiapkan Budi, membumbui, lalu memanggangnya. Memotong dan memanggang ular itu nggak mudah, kalian tahu? Tahu nggak, daging yang sudah dipotong-potong itu masih bisa gerak waktu dipanggang. Hiii...!
Mungkin itu karena kami nggak tahu cara memasak ular yang benar sih. Yah, jujur saja, aku juga nggak terlalu kepingin tahu soal itu. Kan nggak keren kalau ditanya: apa cita-citamu? Tukang sate ular! Nggak banget deh.
Akhir cerita... Malam tahun baru itu kami lewatkan dengan barbekyu ular di rumah baru di pinggir kota, dengan kandang sapi sebagai tetangga sebelah dan kuburan di seberang jalan. Asyik untuk dikenang? Memang. Mau lagi? Nggak ah...
--ooo NDI EN ooo--