-------------------------------------------------------------------
Characters (tokoh-tokoh dalam cerita ini):
Ituth = Aku. Cowok jenius yang selain cakep juga... keren, seksi, jujur, setia, baik hati, dan tidak sombong. (Huss! Dilarang muntah!)
Leong = Nama aslinya sih Fajar, julukannya... Babah Leong. Dia tukang bantah, nggak sabaran, dan cuma bisa diem kalau lagi pingsan.
Budi = Anak ajaib ini hobinya mancing, gangguin cewek cakep, dan... nangkep ular. Busyet deh hobi terakhirnya, nggak bisa cari hobi lain apa ya? Ngerajut gitu kenapa?
Nugroho = Atau Inug, atau Hoho, atau... Botol. Tak bisa merengut dia. Mukanya memang sepertinya sudah diset permanen sejak lahir untuk selalu nyengir.
Fabianus = Biar lebih singkat biasa dipanggil... Anus. Kekeke... itu sih kayaknya bukan supaya lebih singkat deh. Ehm...! Yang jelas, yang paling menonjol dari anak satu ini adalah... giginya.
Andy = Atau Kribo. Dia pendiem, kalem, nggak pernah macem-macem, nggak pernah bikin masalah, nggak pernah makan, nggak pernah minum, nggak pernah... Eh, busyet deh! Aku ngomongin dia atau ngomongin patung ini yah?
-------------------------------------------------------------------
Ya udah deh. Sekarang, dimulai saja ceritanya...
Suatu hari... Bah! Suatu hari? Terlalu klise yah? Nggak jadi deh. Langsung saja...
"Cepetan Tuth! Masih harus jemput si Budi nih." Leong berseru tak sabar, menunggu gelisah di atas motor zaman purbanya, yang entah gimana masih juga bisa jalan. Maklum sih bahan bakarnya bensin campur... campur dorong.
"Bentar ah. Baru juga jam sembilan. Masih sore ini. Lagian, repot ni bawanya," gerutuku, kerepotan keluar rumah. Memang aku kayak orang pindahan ini bawaannya: matras, tikar, makanan berlimpah, dan coca-cola tiga botol besar. Sayang ideku bawa kasur tadi ditolak mentah-mentah sama siapapun yang denger. Kan asyik tuh sebenernya, kasur diseret di belakang motor bobroknya Leong, trus aku berdiri di atasnya sambil menjaga keseimbangan... jadi kayak main ski air di jalanan kan?
"Ayo ah!" Leong berseru lagi, makin tak sabar. Aku susah payah menempatkan diri, ngebonceng di belakangnya. Setelah berhasil, kamipun berangkat... menuju neraka. Nggak ding. Nggak tepat menuju neraka, tapi nyaris. Suer nih. Mukaku aja sudah merah membara ini, terbakar panasnya api neraka yang kalau di bumi lebih sering disebut sebagai... rasa malu. Gimana nggak? Motor butut, beban berlebihan, jalannya... buset, balapan sama becak saja kalah.
Namun akhirnya, penantian tak berkesudahan yang menyiksa nurani ini usai juga. Sampai juga kami di rumah baru Leong dengan selamat, sentosa, dan... sengsara. Anyway, berikutnya, dengan semangat membara, aku membawa semua bebanku (termasuk beban perasaan) masuk ke rumah Leong. Mau pesta besar kami ini. Pesta tahun baru ini, cuma sekali setahun. (Ya iyalah! Namanya juga tahun baru. Kalau bulan baru itu baru setahun duabelas kali.)
Pokoknya, sekarang penderitaanku sudah usai. Tinggal masuk rumah, gelar tikar ma matras, buka makanan, pesta pora, dan...... benar kan? Dugaanku salah.
"Weleh! Mana ini yang lain Yong?"
"Kan tahu sendiri... bokap nyokap lagi keluar kota," jawab Leong cuek aja.
"Bukan itu. Si Nug, Anus, sama Kribo mana? Katanya sudah disini?"
"Pulang tadi, pas aku jemput kamu. Bentar lagi juga balik sini paling. Sudah ah, tungguin sini yah? Aku jemput Budi dulu."
"Yah, sono gih cepetan," gerutuku sebal. Leong langsung saja keluar dan membawa motor antiknya melaju pergi. Untung malem tahun baru ini, suara rintihan motornya jadi nggak terlalu bikin orang kepingin keluar rumah buat nimpukin dia pakai kloset.
Ditinggal sendiri begini, untuk sesaat aku hanya bisa tenggelam dalam kekesalan mendalam. Tapi sebentar kemudian aku tersadar... Rumah baru Leong ini kan di pinggiran kota... sebelah kirinya kandang sapi. Kanannya? Lapangan bola. Belakang? Kebun orang. Depannya? Jalan. Di seberang jalan? Busyet... Kuburan. Dan disini cuma ada... aku sendiri.
Maka... "Leong... bangsat!" makiku langsung sekuat tenaga.
Rabu, 28 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar